Reaktualisasi Independensi Media


Oleh : Tarmudi

Media

Karangampel - Pemilihan umum yang merupakan rangkaian pesta demokrasi rakyat Indonesia telah berlalu. Setumpuk cerita di dalamnya acap menjadi bahan perbincangan publik di penjuru nusantara. Mulai dari pemilihan legislatif (pileg) di daerah hingga di penghujung hajat nasional yakni pemilihan umum (pemilu) untuk memilih calon presiden dan calon wakil presiden. Rakyat di tuntut untuk memiliki karakter kepedulian menyangkut keberlangsungan proses kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan esensi dan amanah konstitusi UUD 1945.

Berbicara tentang proses implementasi dari Pemilu, baik legislatif maupun eksekutif, iklim politik selalu hangat di perbincangkan di setiap sudut kehidupan masyarakat. Mulai dari masyarakat pinggiran sampai perkotaan. Betapa tidak, perjalanan sejarah mencatat fakta, bahwa rakyat cenderung di hadapkan pada situasi dan suhu politik yang heterogen. Dan realitas semacam ini cenderung mampu mengubah mindset (cara berpikir) masyarakat dalam menganalisis fenomena politik dari masa ke masa, termasuk implikasi yang menyertainya.
Salah satu bagian dari indikator kecerdasan masyarakat dalam memahami politik adalah kemampuan dalam memahami independensi media yang selama ini menjadi salah satu instrumen vital dalam proses transformasi informasi dan komunikasi, khususnya peran media elektronik seperti stasiun televisi, yang notabene menjadi salah satu sarana publik dewasa ini.

Pada musim pemilu legislatif dan eksekutif beberapa media gencar mempublikasikan isu-isu aktual seputar perjalanan pemilu. Klimaksnya adalah pada saat proses pemilu capres dan cawapres yang di usung oleh masing-masing partai pendukung. Dengan komposisi hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden membuat tensi politik semakin tinggi. Masing-masing “berjibaku” dengan jurus-jurus ampuh menarik simpati rakyat dengan ragam visi dan misi andalan yang kompetitif dan komparatif. Realitas ini adalah sebuah keniscayaan dalam alam demokrasi di beberapa negara yang menganut sistem ini, tak tekecuali Indonesia.

Namun, yang kemudian menjadi titik permasalahan adalah ketika masyarakat di hadapkan pada realita sosial, dimana media-media transformasi sosial yang hidup di masyarakat justru kehilangan ruh independensi, pemberitaan yang tidak berimbang, subjektifitas dan keberpihakan, bahkan rentan dengan potensi mengakomodir kepentingan pihak-pihak tertentu. Ini yang kemudian menjadi kebingungan dalam masyarakat. Bahkan resiko yang lebih parah adalah semakin besar membuka peluang terjadinya perpecahan, kontraproduktif, lemahnya toleransi, dan implikasi negatif lainnya.

Sejatinya sudah ada regulasi dan kode etik resmi yang mengatur tata posisi dan peran media dalam kaitannya dengan proses transformasi dan komunikasi dalam kehidupan masyarakat.

  1. Pertama, media harus menyajikan “pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas.” Media dituntut untuk selalu akurat, dan tidak berbohong. Fakta harus disajikan sebagai fakta, dan pendapat harus dikemukakan murni sebagai pendapat. Kriteria kebenaran juga dibedakan menurut ukuran masyarakat: Masyarakat sederhana dan masyarakat modern.
  2. Kedua, media harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik. Karenanya, media tak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga forum penyelesaian masalah. Setiap masalah yang menjadi urusan publik dan berhubungan dengan publik disodorkan oleh media, untuk kemudian dibahas bersama dan dicarikan jalan keluar.
  3. Ketiga, media harus menyajikan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat. Syarat ini menuntut media untuk memahami karakteristik dan juga kondisi semua kelompok di masyarakat tanpa terjebak pada stereotipe. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya konflik sosial di masyarakat terkait dengan isi berita yang disajikan.
  4. Keempat, media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Ini tidak berarti media harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat makna keberadaan masyarakat dalam hal-hal yang harus diraih. Hal ini karena media merupakan instrumen pendidik masyarakat sehingga media harus “memikul tanggung jawab pendidik dalam memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya ke tujuan dasar masyarakat.”
  5. Kelima, media “harus membuka akses ke berbagai sumber informasi.”Masyarakat industri modern membutuhkan jauh lebih banyak ketimbang di masa sebelumnya. Alasan yang dikemukakan adalah dengan tersebarnya informasi akan memudahkan pemerintah menjalankan tugasnnya. Lewat informasi, sebenarnya media membantu pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat (Wikipedia Indonesia).

Kesimpulan dari tulisan di atas adalah penulis mengajak kepada segenap rakyat Indonesia untuk semakin cerdas menyimak, mengkaji, menyimpulkan, dan bahkan mengkritisi tayangan-tayangan informasi dari media-media penyiaran publik yang tidak berimbang dan proporsional, khususnya pada iklim politik pra dan pasca pemilu presiden dan wakil presiden. Dengan harapan akan terbentuk media-media informasi dan komunikasi publik yang profesional dan tidak tunduk atas kepentingan-kepentingan politis.

Penulis adalah pemerhati sosial politik
Tinggal di Indramayu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PELATIHAN BELAJAR DARI MANA SAJA DENGAN GOOGLE WORKSPACE FOR EDUCATION 2021

PENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH ( PKKS ) TAHUN 2019